Senin, 07 Desember 2009

Ini masalah Budaya...

Sudah lama tidak menulis di blog nih dikarenakan beberapa tugas riset yang harus dikerjakan. Pada waktu yang agak tenang dikarenakan pusing membaca paper yang intinya hampir sama dengan paper lain.

Pada kesempatan ini saya ingin membahas suatu hal yang terpenting dalam kehidupan, yaitu mengenai budaya. Beberapa orang yang mengatakan bahwa Indonesia sudah ketinggalan teknologi nih. Mesin-mesin yang digunakan biasanya tidak terlalu maju. Lihat dikehidupan luar negeri, orang bisa menggunakan kartu untuk bisa akses transportasi, akses untuk masuk ruangan dll. Mungkin ada yang bertanya kapan nih Indonesia bisa menggunakan teknologi maju.

Jawaban saya sih simple atas pertanyaan tersebut. Saat ini juga kita bisa merasakan semua teknologi yang tinggi. Tapi ini bukan masalah menggunakan teknologi tetapi masalah apakah budaya daerah tersebut menerima teknologi tersebut? Sejujurnya, ketika pertama kali saya tiba di Seoul (Korea Selatan), perhatian saya terfokus ke sebuah mesin yang ada tombolnya dan bagian tempat memasuki uang kertas atau koin. Lalu saya memperhatikan dengan saksama seseorang menggunakan mesin tersebut dan dia dengan mudah mendapatkan minuman yang dia inginkan. Saya bingung melihat mesin itu. Yang saya bingungkan bukan cara kerja mesin itu tapi yang saya bingungkan adalah kok mesin itu ga rusak ya. Saya tidak menyalahkan diri saya jika hal pertama yang saya pikirkan adalah pertanyaan itu. Kenapa? Dikarenakan jika mesin itu digunakan di tempat umum di Indonesia maka mesin itu dalam hitungan hari sudah rusak. Kalau mengenai pembuatan mesin itu, saya pribadi tidak meragukan SDM Indonesia untuk membuat mesin itu.

Ini bukan masalah teknologi apa bisa berkembang di Indonesia atau masalah apakah kita bisa menghasilkan teknologi, tapi ini masalah budaya. Jika budaya di kehidupan sudah beradaptasi dengan menggunakan teknologi maka dengan mudah teknologi tersebut berkembang. Contoh kasus sederhana saja, jembatan suramadu (menghubungi pulau Jawa dengan Madura). Beberapa hari jembatan tersebut diresmikan, beberapa komponen jembatan tersebut sudah berhilangan. Hal ini kelihatan bahwa cara berpikir orang yang mengambil tersebut sangat sederhana, yang penting dia ambil komponen itu lalu dia jual dan dia bisa makan padahal jika dia berpikir lebih jauh jika dia ambil komponen itu maka jembatan tersebut akan rusak dan perkonomian madura bisa menghadapi masalah dan juga membuat APBD baru untuk memperbaiki jembatan tersebut yang diambil dari rakyat sehingga program untuk kesejahteraan rakyat tertunda untuk memperbaiki jembatan tersebut. Apakah kita salahkan cara berpikir pendek tersebut? Tidak, cara berpikir tersebut wajar saja muncul. Dikarenakan permasalahan yang kompleks dihadapi Indonesia dan juga banyak orang yang kehilangan pikiran bijak. Intinya ga salah jika saat ini pemikiran hidup untuk makan.

Hal yang lain adalah mengenai budaya konsumtif. Apakah ada orang Indonesia menggunakan handphone yang mempunyai bench mark dari Indonesia? Wajar kalau jawabannya tidak. Coba perhatikan, ada berapa perusahaan industri yang memiliki R&D department di perusahaannya yang berada di Indonesia? Wajar jawabannya sedikit mungkin aja jawabannya tidak ada. Kebanyakan perusahaan industri mendirikan perusahaan di Indonesia hanya sebagai cabang untuk assembly aja. Loh kok bisa? Soalnya beberapa perusahaan multi nasional sudah melihat peluang yang besar jika membuat kantor cabang di Indonesia hanya sebagai kantor assembly saja. Dan kebanyakan R&D mereka untuk wilayah Asia Tenggara dilokasikan di Singapur, negara yang kecil malah lebih besar kota Medan. Bisa jadi perusahaan tersebut melakukan keputusan tersebut berdasarkan analisa budaya daerah tersebut.

Ketika saya melihat acara kick andy yang bertopik tentang ilmuwan Indonesia di luar negeri, saya melihat banyak ilmuwan kita yang berkarya di luar negeri. Ada yang mengatakan mereka lebih dihargai berada di luar negeri di bandingkan berada di dalam negeri. Wajar saja pikiran itu muncul, hal ini dikarenakan budaya dan juga kebijakan pemerintah belum mendukung. Lalu kapan dong teknologi kita bisa berkembang? Mulai dari sekarang kondisi ini bisa berubah, dengan syarat kita melakukan perubahan mulai saat ini, mulai dari sendiri dan mulai hal yang kecil.

Peradaban itu merupakan investasi dari budaya. Jika budaya tersebut baik maka peradaban yang dihasilkan juga baik. Dan menurut saya agama merupakan salah satu faktor yang bisa memberikan perubahan ke arah yang baik terhadap budaya. Berdasarkan salah satu artinya secara textual, Islam merupakan selamat. Jika kita berpegang teguh dengan ajaran Islam maka kita juga bisa menghasilkan budaya yang baik. Dan saya yakin suatu saat peradaban Islam akan menghasilkan ilmuwan-ilmuwan yang bisa berkarya (kapan ya Ibnu Sina, Al Biruni, Abbas ibn Famas,dsb baru terlahirkan?).

Ada suatu ungkapan yang saya pegang, ini bukan masalah uang tapi ini masalah karya. Jika kita bisa menghasilkan karya (meraih mimpi) maka uang dengan sendiri akan mengalir. Dan nasehat ayah kepada saya: jika kamu mempunyai keahlian, dimana pun kamu berada akan dicari-cari orang yang membutuhkan dirimu.

4 komentar:

Anonim mengatakan...

jadi kesimpulannya.. jangan melestarikan budaya Indonesia.. yang negatif2 maksudnya.. hehe

kebiasaan itu menular bro, di kita kebasaan buruk itu udah mendarah daging.. bahkan seperti kata ente.. jadi budaya..
belum lagi keadaan politik kita juga masih kacau.. Jarang sekali kita melihat politikus yg punya integritas bagus.. berani mundur kalau salah.. beda sama di korea en jepang

oiya bro hadi, ane migrasi di http://aansetia.wordpress.com/
syukran katsir

tenrii ita mengatakan...

se7... dua 7 malahan...
mungkin orang indonesia sendiri yang terlalu kreatif, nggak cocok sama yang namanya teknologi.. yah emang sedikit defence sih cuman kenyataannya emang bagitu..

hmp,,mungkin lebih baik dimulai dari diri kita sendiri aja kali yah...

Yudistira mengatakan...

@aan: Ok aan, sudah saya edit alamat blognya.
@tenrii:iya, mulai diri sendiri, soalnya budaya itu dimulai dari kebiasaan.

Evi Melayu Jambi mengatakan...

Hemmm, nimbrung ah...ms yudistira (secara ini nama buku penerbit favorit ana lowh)

emm, menurut ana, belum tepat saja masyarakat Indonesia menerima yang aneh2,sejatinya seperti anak kecil melihat hal2 baru dan penasaran ingin mencoba. Setelah dewasa baru tahu kalau ia melakukan yang benar atau sebaliknya hal yang salah--untuk selanjutnya tinggal apakah si bocah yang sudah berubah dewasa itu mau mencoba yang baru dengan etika yang sepatutnya. Dan dalam hal ini tentu saja, kita mesti OPTIMIS yaa, he2..kalau bukan kita siapa lagi coba yang mau optimist bahwa bangsa kita adalah bangsa yang "berbudaya" klik definisi budaya yak :) ukeh2. Visit my blog yak mas (Salam Evi Melayu Jambi) http://sukuanakdalamkreatif.wordpress.com/

No Limit

No Limit