Selasa, 01 Maret 2011

Semangat dan Optimis Realistis Bisa Menjadi Modal Awal Pergerakan

Beberapa hari yang lalu ada seorang teman saya menanyakan kenapa saya terlalu optimis dengan suatu program pelayanan pendidikan untuk rekan-rekan Tenaga Kerja Indonesia di Korea untuk direalisasikan dan dijalankan secara berkelanjutan. Sebenarnya saya sendiri agak terkejut dengan pertanyaan itu soalnya saya merasakan bahwa rasa optimis saya diturunkan dengan pertanyaan itu. Saya hanya menjawab pertanyaan itu dengan kutipan surat Ar-Ra'du ayat 11 yaitu tidak akan berubah nasib suatu kaum jika kaum tersebut tidak berusaha. Dan jawaban favorit saya kalau ditanya tentang rasa optimis adalah untuk memiliki rasa optimis kan tidak perlu bayar. Tapi secara jujur, jika saya akan memikirkan lebih matang dengan konsep pelayanan pendidikan ini, saya akan menyerah dan tidak menyukseskan program ini secara saya juga harus berkosentrasi dengan riset, kuliah (walaupun kasus kuliah sebenarnya di sini relatif tidak berat karena yang terpenting di kampus saya adalah riset jalan dan publish paper), keluarga di Indonesia (kadang ada beberapa masalah keluarga yang harus saya selesaikan), dan beberapa tugas sebagai seorang muslim di sini. Yang saya handalkan dalam menjalankan program ini adalah melihat semangat perubahan dari rekan-rekan TKI, semangat dari para pengurus oraganisasi pelajar di sini, dan modal optimis dari diri bahwa program ini akan bisa membantu permasalahan ketenagakerjaan Indonesia.

Deskripsi sebelumnya hanya cuplikan kasus yang saya hadapi yang menjadikan rasa optimisme dan semangat sebagai modal awal dari pergerakan. Saya sendiri tidak memunafikan jika rasa pesimis itu juga ada benarnya dalam mengungkapkan kondisi nyata di lapangan. Pada bagian ini saya ingin mengungkapkan kenapa rasa optimis ini menjadi modal awal. Setiap manusia memiliki akal sebagai pembeda antara manusia dengan mahluk hidup yang lainnya. Selain akal manusia juga memiliki rasa nafsu yang juga berperan dalam perilaku manusia. Akal dan nafsu itu merupakan "alat" manusia untuk melakukan sesuatu. Banyak manusia terjebak dengan perbuatan dosa karena menggunakan sebagian besar nafsu dan sedikit menggunakan akalnya. Dan banyak manusia melakukan perbuatan kebaikan karena akal dan nafsunya. Rasa optimis dalam kebaikan merupakan hasil perpaduan antara akal dan nafsu ini. Jika manusia dapat mengendalikan akal dan nafsu nya ini akan menghasilkan rasa optimis yang positif. Mungkin ada beberapa orang telah mengikuti suatu training motivasi yang biasanya ada materi yang mengajak kita untuk berpikir positif. Jika rekan-rekan mempunyai kesempatan membaca buku "Berpikir dan Berjiwa Besar" atau buku "Setengah Isi, Setengah Kosong" yang inti dari buku itu adalah bagaimana kita diajak untuk berpikir positif untuk menghasilkan kekuatan positif. Salah satu hasil dari berpikir positif itu adalah rasa optimis untuk mencapai hasil positif.

Rasa optimis tidak akan berjalan dengan baik jika tidak diiringi oleh rasa semangat. Optimis dan semangat ini bisa dianalogikan sebagai optimis seperti bensin dan semangat sebagai air untuk sistem pendingin mesin mobil. Jika kita punya bensin tapi kita tidak punya air untuk pendingin mesin mobil, maka kita hanya bisa mengendarai mobil kita setengah jalan karena mesin mobilnya akan panas dan terbakar. Jadi rasa semangat ini juga diperlukan untuk mempertahankan rasa optimis. Lalu bagaimana cara untuk mempertahankan rasa semangat? Jawabannya sering dekat dengan orang yang memiliki rasa semangat positif.

Tidak dimunafikan juga bahwa rasa optimis itu harus dibarengi dengan pemikiran yang matang dan sikap realistis. Sikap realistis merupakan sikap dimana bisa menganalisa kondisi nyata di lapangan terkait dengan kegiatan atau pergerakan yang akan dilaksanakan. Oleh karena itu selain optimis dan semangat perlu juga ada sikap realistis atau dipersingkat dengan istilah optimis realistis ditambah dengan rasa semangat. Mungkin akan bingung sikap optimis realistis ini kesannya seperti menggabung rasa optimis dengan pesimis. Jadi sebaiknya tidak terjebak antara realistis dengan pesimis. Sikap realistis merupakan hasil dari analisa SWOT (Strength, weakness, opportunity, threat) sedangkan rasa pesimis merupakan hasil dari sikap tidak ingin melaksanakan sesuatu kegiatan. Walaupun kondisi dari analisa SWOT menunjukan bahwa weakness lebih dominan daripada strength akan tetapi jika ada rasa optimis dan semangat yang tinggi maka akan ada jalan dari opportunity yang dapat memberikan solusi.

Mungkin saya akan ambil contoh nyata yang telah terjadi dari sikap optimis realistis dan semangat ini. Rekan-rekan bisa melihat perjuangan para pejuang kemerdekaan Republik Indonesia. Jika melihat kondisi lapangan persenjaataan tentara/pejuang kemerdekaan RI tidak secanggih (tidak punya) dibandingkan dengan persenjataan yang dimiliki oleh pasukan penjajah. Tetapi para pejuang masih melihat opportunity yaitu bambu runcing dan people power yang bisa membuat para pejuang untuk berjuang di medan pertempuran.

Silahkan mempersiapkan rasa semangat, optimis dan realistis dalam melakukan suatu pergerakan. Silahkan juga menggunakan nilai-nilai agama digunakan untuk mempertahankan rasa semangat untuk berbuat positif.

No Limit

No Limit